Awal
bulan juni 2013 aku mengundurkan dari tempat aku bekerja. Di tahun ke empat aku
bekerja di kota industri, kejenuhan, bosan akhirnya memuncak. Emapat tahun
dengan aktifitas yang sama, berangkat pagi pulang malem, jarang sekali dapat
melihat matahri terbit dan terbenam, akhirnya kesabaran mencapai batasnya juga.
Beberapa hari setelah mengundurkan diri, aku merenung hampir satu minggu di
kost. Terkadang dalam satu hari hanya tidur-tiduran kemudian malemnya baru makan,
dan terkadang dalam satu hari banyak makan, hahaha. Dalam kost sampah makanan
berserahkan dengan pakaian yang tegantung dimana-mana, dibalik pintu, di
dinding. Sesekali menatap kosong ke langit-langit kemudian memejamkan mata.
Dalam satu minggu itu, aku banyak berpikir apa yang harus lkan setelah mengundurkan diri, apalagi umur
sudah tidak muda lagi, bisa dibilang peralihan dari dunia remaja ke dunia
dewasa. Hehehe.... umur aku saat itu 22 tahun, tentu sudah di umur-umur segitu
banyak sekali pertanyaan dari sana sini. Mulai pertanyaan iseng, candaan atau
emang serius.seperti pertanyaan...
“cewene wong ndi”?
“kapan undangane bro”?
Terkadang
justru orang tua sendiri terutama ibu terkesan menyindir,hehe..
Ibuku bercerita bahwa kalau pada
saat itu dia ditanya oleh ibu dari teman dekatku kapan anakmu bawa cewe ke
rumah, terus katanya ibuku membalas “anu lagi sekolah ya dadi urung mikirna
cewe”. Hmmmp pertanyaan seperti itu sudah terlalu banyak sampai kebal dengan
sendirinya. Hehe..
Akhirnya dari hasil merenung itu,
timbul keinginan untuk berpetualang jauh untuk mencari jawaban-jawaban yang
belum terjawab, kembali mengenali diri ini dan ingin mengetahui seberapa lemah
atau kuatkah diriku ini. Setelah empat tahun bekerja dengan aktifitas yang
sangat monoton setiap hari, dan akhirnya aku mengundurkan diri. Aku menyadari
beberapa hal salah satunya, selama ini aku berada di lingkungan yang terlalu
nyaman atau terjebak di zona nyaman hingga akhirnya lupa untuk berebenah diri, mengembangkan
diri, belajar hal baru dan lain-lain. Bagaimana tidak nyaman gaji aku sebagai
seorang buruh pabrik, gaji aku 2 kali gaji lulusan seorang sarjana fresh
graduate, belum lagi ada insentif kehadiran, bonus akhir tahun, family day,
tunjangan makan, tunjangan transport, tunjangan kesehatan dan lain-lain. Namun
hatiku sudah tak lagi di pabrik,
berpikir jauh ke depan. Beberapa hal yang terjadi di pabrik dan di
kehidupan pribadi seolah isyarat. Itu semua akhirnya mengerti kenapa aku harus
mengundurkan diri, mungkin ini semua adalah jalan yang sedang ditunjukan oleh
Allah SWT.
Hingga akhirnya aku teringat akan
sebuah memori masa lalu, tentang sebuah wallpaper landscape alam yang sangat
indah. Ya,, itu adalah gunung bromo, aku bisa tahu gunung bromo karena pada
sudut kiri bawah ada sebuah keterangan. Sebagai anak kecil, dulu aku suka
melihat gambar-gambar alam dalam waktu lama. Mungkin itulah kenapa sampai
sekarang teringat sampai setua ini. Tempat
yang ingin aku kunjungi adalah tempat yang tenang, sunyi, sejuk dengan angin
sepoi-sepoi,. Alasan aku memilih tempat itu karena gunung bromo merupakan
tempat yang sangat indah di indonesia dan lingkungan sekitarnya juga
sangat-sangat indah. Tentu tempat itu adalah tempat yang sangat cocok untuk
mencari jawaban, dengan segala pertanyaan yang belum terjawab ini, atau sekadar
kembali mengenali akan kebesaran dan keagungan ciptaan Allah SWT, dan juga
mengenali diri ini seberapa lemahkah, seberapa kuatkah?.
Sejak kecil aku memang suka
berpetualang bersama teman-teman masa kecil. Di kampung aku memang daerahnya
memang perbukitan namun tandus jadi hutanya hanya di tanami pohon pinus.
Berawal dari situ aku baru gencar
mencari informasi-informasi gunung bromo dan rute menuju Gunung Bromo jika
menggunakan motor. Dari internet tersebut kemudian aku mengenal sebuah komunitas
traveller di facebook. Nama komunitas tersebut adalah solo traveller. Singkat
cerita kemudian aku komentar di sebuah postingannya mengenai Gunung Bromo
tersebut, tidak lama kemudian mereka langsung membalas komentar. Dari mereka
kemudian aku mengetahui rute tercepat jika menggunakan motor. Mereka mengatakan
bahwa rute menuju Bromo dari Yogyakarta – Solo – Tawangmangu – Magetan – Madiun
– Caruban – Nganjuk – Kertosono – Papar – Pare – Batu – Malang –Nangkojajar –
Tosari – Penanjakan Gunung Bromo (Pos pandang), kebetulan mereka adalah
komunitas dekat Yogyakarta kalau tepat kota mana aku lupa, mungkin solo dan
kebetulan aku orang Kebumen. Jujur dari sini
semakin yakin untuk ke Bromo. Ada satu lagi yang masih kurang yaitu
partner atau teman berpetualang.
Aku menghubungi beberapa teman aku
dekat aku, dari mulai teman kos sewaktu STM, rekan kerja. Namun dari semua itu
tak ada yang menyanggupi, rata-rata mereka memang tidak bisa atau ada urusan
pribadi kebetulan acaranya pas setelah Lebaran, rata-rata mereka masih kecapean
setelah mudik dari kota industri (cikarang, karawang, pulogadung). Akhirnya aku
teringat salah satu teman aku yang telah lama menganggur karena memang dulu
kontrak kerjanya tidak diperpanjang oleh perusahaan, aku pikir pasti dia masih
punya banyak waktu dan kebetulan temanku tinggal di Kulonprogo, aku mengirim
pesan singkat kepada teman kerja tersebut, temanku itu pun menyanggupi tetapi
temanku kemudian menyarankan agar perjalanan ke Gunung Bromo masih dalam
rentang suasana balik atau masih ada aroma lebarannya,hehe. Alasan temanku
tersebut adalah biar saat itu bila cape bisa tidur di pos polisi, atau di jalan
masih ramai tidak terlalu sepi maklum takut ada begal dan juga masih banyak
orang jualan makanan di pinggir-pinggir jalan.
Pada tanggal 12 Agustus 2013
perjalanan ke Bromo pun di mulai. Aku berangkat dari kebumen pukul 05.00
menggunakan motor tiger revo biru tahun 2009, tidak lupa juga membawa bekal
makanan dan baju ganti dalam tas ransel hitam. Jam 7 lebih aku sampai di kota
Wates, Kulonprogo untuk menjemput teman aku. Kemudian aku disuruh mampir
sebentar di rumahnya yang agak di pedesaan, lumayan jauh dari kota Wates.
Kurang lebih 1 jam-an sambil prepare
dan basa basi di rumah temanku. Jam 8 an perjalanan pun dilanjutkan. Kami cuma menggunakan
satu motor saja, biar nanti kalau lelah bisa gantian dan pastinya bisa
menghemat dana,hehehe.
Dari rumah temanku sampai Solo
temanku yang membawa motor, jam 11.30 kami mampir di masjid di daerah solo
untuk ishoma (istirahat, shalat, dan makan). Jam 12.30 kami melanjutkan
perjalanan, dan kini giliran aku yang di depan selanjutnya kami harus melewati
kota Tawangmangu. Menuju Tawangmangu kami disuguhi jalan yang berkelok-kelok
dan menanjak dengan pemandangan alam yang sangat indah. Lalu tibalah di
tanjakan yang cukup curam, lurus dan panjang ditambah jalannya macet karena
memang ada beberapa kendaraan roda empat yang tidak kuat. Beberapa polisi yang
memang bertugas disitu menggunakan mobil 4 WD (wheel drive)-nya. Namun
kemacetan tetap terjadi. Sungguh ini adalah ujian bagi motor koplingan
disaat-saat seperti ini, beberapa kali rem, kopling, gas masih lancar. Tapi
akhirnya motor aku lelah juga atau memang jokinya abal-abal ya?hmmmmp mungkin.
Terpaksa temanku aku suruh turun dan motor pun didorong ke tempat rest area.
Seingat aku saat itu pukul 14.00, terpaksa lah kami istirahat sambil menikmati
pemandangan di kota Tawangmangu dari kokohnya Gunung Lawu yang menjulang tinggi
dan areal pertanian sayur yang sangat indah dan ditambah suasanan yang sejuk,
sungguh nyaman kota ini. Namun tetap tujuan kami adalah Gunung Bromo.
Kurang lebih setengah jam kami
menikamati kota Tawangmangu gara-gara motor tidak bisa diajak kompromi.
Selanjutnya tujuan kami adalah kota Magetan, kali ini yang didepan masih aku karena katanya tidak
kurang bisa menggunakan motor aku di jalan berkelok-kelok dan naik turun.
Menuruni kota Tawangmangu lagi-lagi kami disuguhi pemandangan yang sangat
indah, nampak telaga sarangan dan telaga wahyu di kabupaten Magetan. Jam 4 an
kami sampai di kota Magetan untuk ishoma.
Selanjutnya adalah perjalanan dari
kota Magetan ke Madiun, kali ini teman aku yang menjadi drivernya. Di sinilah
kami agak kebingungan karena banyak sekali jalan satu arah, terkadang salah
masuk jalan tapi untung tidak ada polisi yang bertugas, kalau ada pasti sudah
kena tilang. Karena jalan lumayan lengang ke Madiun akhirnya kami langsung
lanjut ke kota Caruban. Disini pun masih lancar jaya, jadi lumayan buat gas
pol. Lagi-lagi harus lanjut, waktu sudah menjelang maghrib tetapi kami harus
lanjut sambil mencari masid atau rest area. Di jalur Caruban-Nganjuk lalu
lintas mulai padat karena ada pertemuan arus dari kabupaten Sragen dan Ngawi,
apalagi ini adalah masih suasan balik lebaran atau para pekerja kembali ke kota
lagi dari kampung halaman. Di sini kami harus berjalan ditepi agar bisa jalan
resikonya jalan bergelombang dan hampir saja kami terperosok karena ada lubang.
Untung saja kami tidak apa-apa, oke itu mungkin pertanda kami untuk istirahat.
Akhirnya kami istrihat di rest area terdekat, saat itu jam menunjukan 18.30 an.
Di rest area tersebut ramai sekali para pemudik, akhirnya kami gantian untuk
shalat dan lainya untuk jaga motor.
Kami hanya beristirahat sebentar di
Nganjuk, karena mengejar waktu agar sampai di Penanjakan, Gunung Bromo sebelum
matahari terbit, tentu saja agar bisa menikmati keindahan matahari terbit di
penanjakan, Gunung Bromo. Selesai menunaikan ibadah shalat maghrib dan minum,
kami langsung tancap gas menuju kota selanjutnya yaitu Kertosono. Menuju Kertosono
jalanan agak lengang, jadi bisa tancap gas. Setelah melewati Kertosono kemudian
kami mampir di Masjid desa Papar Kabupaten Kediri Sebelum menuju Kota
selanjutnya yaitu kota Batu dan Malang. Suhu dingin sudah mulai terasa, di
sekitar masjid suasana sudah sepi hanya beberapa motor yang melewati jalan di
sekitar masjid. Untuk menenangkan pikiran akhirnya kami shalat ‘isya dulu,
kemudian kami jalan lagi sambil cari makanan untuk mengisi perut yang sudah
mulai keroncongan. Tidak jauh dari masjid ada tukang nasi goreng, lumayan untuk
mengganjal perut yang keroncongan malam ini. Malam semakin larut, suasana di
desa itu semakin sepi khas suasana pedesaaan. Ada perasaan ragu untuk
melanjutkan perjalanan, namun ini sudah lebih dari setengah perjalanan. Sambil
menghambiskan nasi kami berharap akan ada beberapa kendaraan yang menuju kota
yang sama biar ada barengan.
Setelah kami meyakinkan diri dengan
adanya beberapa kendaraan yang menuju ke arah yang sama kami pun melanjutkan
perjalanan. Benar saja jalanan cukup mencekam dan sepi, kami melewati
persawahan hanya beberapa kendaraan saja yang lewat. Suhu dingin mulai
menusuk-nusuk tulang, sebentar-sebentar badanku menggigil terhempas angin dari
depan akibat laju motor. Jalan menikung, menanjak dan menuruni bukit, kini kami
telah memasuki hutan. Sesekali melihat sorot lampu rumah di kejauhan kemudian
hilang. Sesekali ada sorot lampu mobil dari arah depan, sungguh tenang ternyata
masih ada yang lewat. Tak terasa kami telah sampai kota Batu, namun suasana
sudah sangat sepi. Suhu dimalam itu sudah sangat dingin, sampai sampai temanku
yang memang kurus itu beberapa kali menggigil sambil bibirnya menggumam. Kami
berhenti sebentar sambil menikamati bukit bintang ala kota Batu, Kemudian dia
mengeluarkan jacket tambahan, slayer dan minyak gosok untuk menghangatkan
tubuhnya. Terpaksa aku yang harus meneruskan menjadi driver sampai penanjakan,
karena dia sudah tak kuasa lagi pada suhu kota Batu, Malang.
Dari kota batu kami seperti menuruni
bukit menuju kota Malang. Sebentar saja kami sampai di kota Malang, karena
jalanan sudah sangat sepi. Hanya beberapa kali kami menjumpai segrombolan
suporter bola di kota Malang. Sempat khawatir kalau-kalau ada bentrokan. Aku
melihat jam sudah menunjukan 24.00 dan aku melihat tanki bensin tinggal
beberapa strip. Namun kami lebih dipengaruhi perasaan tidak nyaman di kota
Malang. Akhirnya kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju sebuah desa
Nangkojajar, semoga saja ada SPBU di tempat tujuan selanjutnya. Namun apa yang
kami harapkan tidak terjadi, kami tidak menjumpai SPBU atau penjual bensin
eceran yang masih buka. Apalagi kami sudah jauh dari kota Malang, kami sudah
memasuki daerah pedesaan yang sangat sepi dengan jalan yang terus menanjak.
Jarum penunjuk bensin hampir menunjuk garis merah. Kami tidak tahu seberapa
jauh lagi Penanjakan gunung Bromo. Jalan yang beraspal halus mulai berganti
aspal yang berlubang sana-sini dan jalan masih terus menanjak. Rasa khawatir
semakin menjadi-jadi. Entah karena apa....”glekk” tiba-tiba motor mati,
terpaksa kemudian aku menuntun dan temen aku mendorong.
Aku check apakah bensin masih ada. Aku
goyang-goyangkan tangki bensin, ternyata masih terdengar suara gemercik suara
bensin. Kemudian aku coba selah motor berkali-kali agar bensin bisa mengalir
lagi. Akhirnya “nggreng....nggreng” motor hidup lagi. Kami pun berharap semoga
dengan bensin yang tersisa masih cukup untuk menuju ke gunung bromo. Jalan
semakin menanjak dan aspal berlubang dimana-mana. Suara angin menggoyang-goyang
pohon-pohon yang tinggi. Sesekali angin seperti ingin memeluk tubuh kami
“wuuussssh”. Jalan semakin menanjak dan menikung, kami semakin khawatir apakah
kami tersesat. Kami sudah semakin jauh dari perkampungan terakhir, dan jujur
kami tidak tahu sudah berada dimana. Sejauh memandang hanya pohon-pohon yang
tinggi. Beberapa kali ada persimpangan kami mengambil arah kiri, asal tahu saja
itu cuma asal pilih saja. Kami sudah benar-benar pasrah akan berakhir dimana
perjalanan kami. Temanku yang membonceng tidak berkata sepatah kata pun, aku
pun merasa dia apakah sudah tidak ada dibelakang aku. Suhu yang dingin menambah
rasa ketakutan kami, angin dingin berhembus meliliti bagian tubuh kami. Suasana
sungguh sangat hening, aku hanya bergumam dalam hati dan berdoa dan pasrah
apapun yang akan terjadi. Tiba-tiba saja aku ingat akan dosa-dosa aku.
Tiba-tiba saja aku merasa sangat ingin pulang. Apalah daya aku sudah berjalan
jauh, kalau ingin pulang tentu saja aku harus melanjutkan perjalanan ini dengan
resiko apapun yang terjadi.
Kami sudah benar-benar pasrah dan
mengikuti jalan yang ada, sama sekali tidak ada kendaraan yang mendahului kami
atau kendaraan dari arah berlawanan. Jalanan tiba-tiba menuruni bukit, kemudian
suasana hening pecah. Aku menepuk lutut teman aku “bro dalane mudun, semoga bae
kie bener” kemudian temanku menyahut “semoga
bae”.
Kemudian kami seperti melihati kelap
kelip lampu dari kejauhan, hati kamu semakin tenang. Semoga saja itu adalah
perkampungan. Kami semakin mendekati kelap kelip lampu tersebut dan semakin
jelas. Benar saja, kami mendapati gapura pedesaan. Namun masih diselimuti
kesunyian dengan suhu yang semakin dingin. Satu demi satu rumah kami lewati
belum nampak kesibukan warga, pintu-pintu masih tertutup rapat. Hanya sesekali
angin berhembus menyambut kami. Kemudian kami menjumpai segerombolan pemuda
yang sedang berkumpul dan menyalakan api unggun. Mereka menggunakan sarung
untuk menyelimuti tubuhnya. Kemudian kami menghampiri dan bertanya” mas, apa
benar ini menuju gunung bromo? Kemudian salah seorang dari mereka menjawab
“benar mas” aku bertanya lagi “masih jauh gak mas dari sini” kemudian dia
menjawab “masih mas,kalau mau mas aku antar tapi per orang 25 ribu”. Tanpa
pikir panjang karena rasa ketakutan setelah melewati hutan tadi jadi kami
mengiyakan jadilah 50 ribu untuk berdua. Kemudian masnya mbleyer motor dan aku
mengikuti, sialnya tak jauh hanya beberapa menit saja kami telah sampai gardu
tiket masuk Penanjakan gunung bromo, padang pasir dan gunung bromo, kebetulan
satu paket. Saat itu harga tiket 23 ribu per orang kalau tidak salah.
Langsung kami mencari bensin eceran,
karena dari gardu tiket masih berjarak lumayan jauh, kurang lebih 30 menitan
lah kalau pakai motor. Kami langsung tancap gas menuju penanjakan karena kata
petugas tiketnya nanti sebentar lagi ramai. Kami disapa dengan
tikungan-tikungan hairpin yang menanjak. Salah perhitungan sedikit saja bisa
jatuh ke jurang. Saut-saut rombongan motor dari belakang menyusul, jadilah kami
seperti pembalap motogp yang sedang berjuang meraih podium,haha. Sesampainya di
pos pandang penanjakan kami langsung memakirkan motor, kemudian cari minuman
hangat di warung dan mengisi perut yang keroncongan. Di pos pandang penanjakan
ini ada warung kopi, mie rebus, gorengan dan juga ada toilet. Ada juga yang
berjualan souvenir. Tak seperti yang aku pikirkan ternyata di puncak ada yang
berjualan. Sebentar saja kopi dan mie rebus yang aku pesan langsung dingin,
efek suhu yang ekstrim. Langsung saja kami santap dan menuju puncak pos
pandang. Ternyata di atas ada deretan tempat duduk, kami memilih tempat duduk
terdepan. Hanya baru ada beberapa orang termasuk aku dan temanku. Aku melihat
temanku menggigil dengan tubuh kurusnya, begitupun aku. Tubuh besar aku tak
mampu menahan rasa dingin. Beberapa kali kami mengobrol sambil menggigil
kedinginan. Sambil mengobrol kami menunggu matahari terbit di penanjakan,
pegunungan tengger. Pukul 04.30 tempat mulai penuh tidak hanya wisatawan
domestik ada juga wisatawan luar negeri.
Langit gelap mulai memudar, dari gelap
berubah kuning emas kegelapan. Warna kuning emas mulai jelas, matahari bergerak
perlahan. Para wisatawan bersorak dan bertepuk tangan menyambut matahari
terbit. Sungguh sangat indah matahri yang bergerak perlahan. Beberapa orang
terdiam dan memandangi, beberapa orang sibuk memotret pemandangan yang tiada
dua. Aku terdiam tanpa bisa berkata-kata dengan tetap memandangi keindahan
ciptaan Allah SWT. Matahari mulai meninggi aku masih terdiam, kini dengan jelas
aku dapat memandangi hamparan padang pasir yang luas dengan gunung bromo dan
batok yang berjajar rapi dengan indahnya yang masih berselimut kabut tipis,
nampak juga dibelakangnya gunung sumeru yang rajin memuntahkan asap. Tak lupa
aku mengabadikan momen indah bersama temanku.
Sungguh perjalanan yang sangat
berkesan, perjalanan yang tak mudah untuk menemukan ciptaan Allah SWT yang
sangat indah. Ternyata apa yang saya lihat langsung lebih indah daripada
melihat di wallpaper kalender. Dari perjalanan ini aku belajar banyak hal
tentang kehidupan ini. Salah satunya adalah ketika kita menginginkan sesuatu,
kejarlah walau berat, kejarlah walau susah. Jika berhenti habis sudah, pulang
tanpa hasil dan semua langkah menjadi sia-sia.